KEWAJIBAN MENGIKUTI CARA BERAGAMANYA PARA SHAHABAT (Tafsir Surat An-Nisa ayat 115)
Oleh Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
Dan barangsiapa yang menentang/memusuhi Rasul sesudah nyata baginya al-hidayah (kebenaran) dan dia mengikuti selain jalannya orang-orang mu’min, niscaya akan Kami palingkan (sesatkan) dia ke mana dia berpaling (tersesat) dan akan Kami masukkan dia ke dalam jahannam dan (jahannam) itu adalah seburuk-buruk tempat kembali. (An-Nisa’ ayat 115)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah di muqaddimah kitabnya “Naqdlul Mantiq” telah menafsirkan ayat “jalannya orang-orang mukmin” (bahwa) mereka adalah para Shahabat. Maksudnya: Bahwa Allah Subhanallah telah menegaskan barangsiapa yang memusuhi atau menentang Rasul dan mengikuti selain jalannya para Shahabat sesudah nyata baginya kebenaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah ﷺ dan didakwahkan dan diamalkan oleh Rasulullah n bersama para Shahabatnya, maka Allah Subhanallah akan menyesatkannya ke mana dia tersesat (yakni dia terombang-ambing di dalam kesesatan).
Ayat yang mulia ini merupakan sebesar-besar ayat dan dalil yang paling tegas dan terang tentang kewajiban yang besar bagi kita mengikuti “jalannya orang-orang Mukmin” yaitu para Shahabat. Yakni cara beragamannya para Shahabat atau manhaj mereka berdasarkan nash Al-Kitab dan As-Sunnah diantaranya ayat di atas.
Jika dikatakan: Kenapa “Sabilil Mukminin atau jalannya orang-orang mukmin” di ayat yang mulia ini ditafsirkan dengan para Shahabat (?!) bukan umumnya orang-orang Mukmin??
Saya jawab berdasarkan istimbath (pengambilan; penggalian) dari ayat di atas:
Pertama:
Ketika turunnya ayat yang mulia ini, tidak ada orang mukmin di permukaan bumi ini selain dari para Shahabat. Maka, khithab (pembicaraan) ini pertama kali Allah tujukan kepada mereka.
Kedua:
Mafhumnya, bahwa orang-orang mukmin yang sesudah mereka (para Shahabat) dapat masuk ke dalam ayat yang mulia ini dengan syarat mereka mengikuti jalannya orang-orang mukmin yang pertama yaitu para Shahabat. Jika tidak, berarti mereka telah menyelisihi jalannya orang-orang mukmin sebagaimana ketegasan firman Allah Subhanallah di atas.
Ketiga:
Kalau orang-orang mukmin di ayat yang mulia ini ditafsirkan secara umum, maka jalannya orang-orang mukmin yang manakah? Apakah mukminnya Khawarij atau Syiah/Rafidhah atau Mu’tazilah atau Murji’ah atau Jahmiyyah atau Falasifah atau Sufiyyah atau… atau…dan atau..?
Keempat:
Perjalanan orang-orang mukmin yang paling jelas arahnya, aqidah dan manhajnya hanyalah perjalanan para Shahabat. Adapun yang lain mengikuti perjalanan mereka, baik aqidah dan manhaj.
Kelima:
Perjalanan orang-orang mukmin yang paling alim terhadap agama Allah yaitu Al-Islam hanyalah para Shahabat. Allah Subhanallah telah menegaskan di dalam Kitab-Nya yang mulia bahwa mereka adalah orang-orang yang telah diberi ilmu. (Surat Muhammad ayat 16).
Keenam:
Perjalanan orang-orang Mukmin yang paling takwa kepada Allah secara umum hanyalah para Shahabat.
Ketujuh:
Perjalanan orang-orang mukmin yang paling taslim (menyerahkan diri) kepada Allah Subhanallah dan Rasul-Nya secara umum hanyalah para Shahabat.
Kedelapan:
Perjalanan orang-orang mukmin yang ijma’ (kesepakatan) mereka menjadi hujjah dan menjadi dasar hukum Islam yang ketiga setelah Al-Qur’an dan As-Sunnah hanyalah ijma’ para Shahabat. Oleh karena itu tidak ada ijma’ kecuali ijma’ para Shahabat atau setelah terjadi ijma’ diantara mereka. Demikian juga sebaliknya, mustahil terjadi perselisihan apabila para Shahabat telah ijma’. Dan tidak ada yang menyalahi ijma’ mereka kecuali orang-orang sesat dan menyesatkan yang telah mengikuti “selain jalannya orang-orang mukmin”.
Kesembilan:
Perjalanan orang-orang mukmin yang tidak pernah berselisih di dalam aqidah dan manhaj hanyalah perjalanan para Shahabat bersama orang-orang yang mengikuti mereka dari tabi’in dan tabi’ut tabi’in dan seterusnya.
Kesepuluh:
Para Shahabat adalah sebaik-baik umat ini dan pemimpin mereka. (bacalah I’laamul Muwaqqi’iin juz 1 hal 14 oleh imam Ibnul Qayyim)
Kesebelas:
Para Shahabat adalah ulama dan muftinya umat ini. (idem)
Keduabelas:
Para Shahabat adalah orang-orang yang pertama-tama beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu Allah memerintahkan manusia untuk mengikuti mereka. (Surat Al-Baqarah ayat: 13).
Ketigabelas:
Para Shahabat telah dipuji dan dimuliakan oleh Allah dibanyak tempat di dalam Kitab-Nya yang mulia.
Keempatbelas:
Bahwa perjalanan para Shahabat telah mendapat keridhaan Allah Subhanallah dan merakapun ridha kepada Allah Subhanallah. (surat At-Taubah ayat 100).
Kelimabelas:
Perjalanan para Shahabat menjadi dasar, bahwa Allah Subhanallah akan meridhai perjalanannya orang-orang mukmin dengan syarat mereka mengikuti “jalannya orang-orang mukmin yang pertama yaitu para Shahabat”. Mafhumnya, bahwa Allah tidak akan meridhai mereka yang tidak mengikuti perjalanannya al-Muhajirin dan al-Anshar. (surat At-Taubah ayat 100)
Keenambelas:
Sebaik-baik Shahabat para Nabi dan Rasul ialah Shahabat-Shahabat Rasulullah ﷺ .
Ketujuhbelas:
Tidak ada yang marah dan membenci para Shahabat kecuali orang-orang kafir. (tafsir Ibnu Katsir surat Al-Fath ayat 29).
Kedelapanbelas:
Dan tidak ada yang menyatakan bodoh terhadap para Shahabat kecuali orang-orang munafik. (surat Al-Baqarah ayat 13).
Kesembilanbelas:
Rasulullah ﷺ telah bersabda:
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِيْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ
“Sebaik-baik manusia adalah yang hidup di zamanku, kemudian yang sesudah mereka, kemudian yang sesudah mereka”. (Hadits shahih mutawatir dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim dan lain-lain).
Generasi pertama adalah para Shahabat, yang kedua adalah tabi’in dan yang ketiga adalah tabi’ut-tabi’in. mereka inilah yang dinamakan dengan nama Salafush Shalih (generasi pendahulu yang shalih) yakni tiga generasi terbaik dari umat ini. Kepada mereka inilah kita meruju’ cara beragama kita mengamalkan nash Al-Qur’an dan As-Sunnah di atas. Sedangkan orang-orang yang mengikuti mereka dinamakan Salafiyyun/salafi dari zaman ke zaman sampai hari ini.
Keduapuluh:
Rasulullah ﷺ telah bersabda pada waktu hajjatul wada’ (haji perpisahan):
فَلْيُبَلِّغِ الشَّاهِدُ الْغَائِبَ
“Hendaklah orang yang hadir diantara kamu menyampaikan kepada yang tidak hadir”. (Hadits shahih riwayat Bukhari dan Muslim dari jalan beberapa orang Shahabat).
Hadits yang mulia ini meskipun bersifat umum tentang perintah tabligh dan dakwah akan tetapi para Shahabatlah yang pertama kali diperintahkan oleh Rasulullah ﷺ untuk bertabligh dan berdakwah. Sebagai contoh bagi umat ini dan agar diikuti oleh mereka bagaimana cara bertabligh dan berdakwah yang benar di dalam menyampaikan yang hak. Oleh karena itu hadits yang mulia ini memberikan pelajaran yang sangat tinggi kepada kita diantaranya:
- Bahwa dakwah mereka adalah hak dan lurus di bawah bimbingan Nabi yang mulia ﷺ .
- Bahwa mereka adalah orang-orang kepercayaan Rasulullah ﷺ. Kalau tidak, tentu Rasulullah ﷺ tidak akan memerintahkan mereka untuk menyampaikan dari beliau.
- Bahwa mereka kaum yang benar, lawan dari dusta, yang amanat, lawan dari khianat.
- Bahwa mereka telah dita’dil (dinyatakan bersifat ‘adalah: tsiqah/terpercaya dan dhabt /teliti) oleh Rabb mereka, Allah , dan oleh Nabi mereka. Oleh karena itu Ahlus Sunnah wal Jama’ah telah ijma’ bahwa mereka tidak perlu diperiksa lagi dengan sebab di atas. Keadilan dan ketsiqahan mereka tidak diragukan lagi. Allahumma! Kecuali oleh kaum Syi’ah atau Rafidhah dari cucu Abdullah bin Saba’ si Yahudi hitam dan orang-orang yang sefaham dengan mereka yang dahulu dan sekarang.
- Bahwa wajib bagi kita kaum Muslimin mengikuti cara dakwahnya para Shahabat, bagaimana dan apa yang mereka dakwahkan dan seterusnya. Adapun dalam masalah keduniaan seperti alat dan sarana mengikuti perkembangan zaman dan tingkat pengetahuan manusia, seperti menggunakan kendaraan yang ada pada zaman ini atau alat perekam dan pengeras suara dan lain-lain.
Keduapuluhsatu:
Rasulullah ﷺ telah bersabda:
لاَ تَسُبُّوا أَصْحَابِي فَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ ولاَ نَصِيفَهُ
“Janganlah kamu mencaci-maki Shahabat-Shahabatku! Kalau sekiranya salah seorang dari kamu menginfakkan emas sebesar gunung Uhud, niscaya tidak akan mencapai derajat mereka satu mud-pun atau setengan mud”. (Hadits shahih riwayat Bukhari dan Muslim).
Keduapuluhdua:
Para Shahabat secara umum telah dijanjikan Jannah (sorga). (At-Taubah ayat 100 dan Al-Hahid ayat 10).
Keduapuluhtiga:
Secara khusus sebagian shahabat telah diberi khabar gembira oleh Nabi ﷺ sebagai penghuni sorga, seperti Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali dan lain-lain.
Keduapuluhempat:
Para Shahabat telah berhasil menguasai dunia membenarkan janji Allah di dalam Kitab-Nya yang mulia (tafsir Ibnu Katsir surat An-Nuur ayat 55).
Keduapuluhlima:
Perjalanan orang-orang mukmin yang paling kuat “ukhuwwah Islamiyyahnya” ialah para Shahabat berdasarkan nash Al-Qur’an dan Sunnah serta tarikh.
Keduapuluhenam:
Di dalam ayat yang mulia ini Allah tidaklah mencukupkan firman-Nya dengan perkataan: “Barangsiapa yang memusuhi Rasul sesudah nyata baginya kebenaran…, niscaya akan Kami palingkan dia…”. Dan kalau Allah mencukupinya sampai disitu pasti hak/benar. Akan tetapi terdapat hikmah yang dalam ketika Allah mengkaitkan dengan “dan dia mengikuti selain jalannya orang-orang mukmin –yaitu para Shahabat- ”. Dari sini kita mengetahui, bahwa di dalam berpegang dengan Al-Qur’an dan Sunnah, harus ada jalan atau cara di dalam memahami keduanya. Jalan atau cara itu adalah “jalannya orang-orang mukmin yaitu para Shahabat”.
Jadi, urutan dalilnya sebagai berikut:
AL-QUR’AN
AS-SUNNAH
Keduanya menurut pemahaman para Shahabat atau cara beragamanya mereka, akidah dan manhaj.
[ Majalah As-Sunnah edisi 02/V/1421-2001M ]
Artikel asli: https://majalahassunnah.net/akidah/kewajiban-mengikuti-cara-beragamanya-para-shahabat-tafsir-surat-an-nisa-ayat-115/